SELAMAT DATANG DI BATIK_KU "PEKALONGAN"

Minggu, 10 Juli 2011

Sekilas ala Khas Pekalongan

25-26 Mei 2011 berkunjung ke salah satu kota batik terkenal di nusantara ini, letaknya di kawasan pantai utara pulau jawa… yah, itulah Pekalongan…. Kota ini terletak di jalur pantura yang menghubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya. Pekalongan berjarak 101 km sebelah barat Semarang, atau 384 sebelah timur Jakarta. Pekalongan dikenal mendapat julukan kota batik, karena batik Pekalongan memiliki corak yang khas dan variatif. Kota Pekalongan memiliki pelabuhan perikanan terbesar di Pulau Jawa. Pelabuhan ini sering menjadi transit dan area pelelangan hasil tangkapan laut oleh para nelayan dari berbagai daerah. Selain itu di Kota Pekalongan banyak terdapat perusahaan pengolahan hasil laut, seperti ikan asin, terasi, sarden, dan kerupuk ikan, baik perusahaan berskala besar maupun industri rumah tangga.
Kabupaten Pekalongan merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, yang berada di daerah Pantura bagian barat sepanjang pantai utara Laut Jawa memanjang ke selatan dengan Kota Kajen sebagai Ibu Kota pusat pemerintahan.
Secara geografis terletak diantara:  60 – 70  23’ Lintang Selatan dan antara 1090 – 1090 78’ Bujur Timur yang berbatasan dengan:
Sebelah Timur       : Kota Pekalongan dan  Kabupaten Batang
Sebelah Utara        : Laut Jawa, Kota Pekalongan
Sebelah Selatan    : Kabupaten Banjarnegara
Sebelah Barat        : Kabupaten Pemalang
Secara Topografis, Kabupaten Pekalongan merupakan perpaduan antara wilayah datar diwilayah bagian utara dan sebagian merupakan wilayah dataran tinggi/pegunungan diwilayah bagian selatan yaitu diantaranya  Kecamatan Petungkriyono dengan ketinggian 1.294 meter diatas permukaan laut dan merupakan wilayah perbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara, Kecamatan Lebakbarang, Paninggaran, Kandangserang, Talun, Doro, dan sebagaian diwilayah Kecamatan Karanganyar serta Kajen.

Berkunjung ke pekalongan tidak lengkap jika kita belum menilik batik khas pekalongan, Batik Pekalongan termasuk batik pesisir yang paling kaya akan warna. Sebagaimana ciri khas batik pesisir, ragam hiasnya biasanya bersifat naturalis. Jika dibanding dengan batik pesisir lainnya Batik Pekalongan ini sangat dipengaruhi pendatang keturunan China dan Belanda. Motif Batik Pekalongan sangat bebas, dan menarik, meskipun motifnya terkadang sama dengan batik Solo atau Yogya, seringkali dimodifikasi dengan variasi warna yang atraktif. Tak jarang pada sehelai kain batik dijumpai hingga 8 warna yang berani, dan kombinasi yang dinamis. Motif yang paling populer di dan terkenal dari pekalongan adalah motif batikJlamprang.
Batik Pekalongan banyak dipasarkan hingga ke daerah luar jawa, diantaranya Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Minahasa, hingga Makassar. Biasanya pedagang batik di daerah ini memesan motif yang sesuai dengan selera dan adat daerah masing-masing.
Keistimewaan Batik Pekalongan adalah, para pembatiknya selalu mengikuti perkembangan jaman . Misalnya pada waktu penjajahan Jepang, maka lahir batik dengan nama’Batik Jawa Hokokai’,yaitu batik dengan motif dan warna yang mirip kimono Jepang. Pada umumnya batik jawa hokokai ini merupakanbatik pagi-sore. Pada tahun enampuluhan juga diciptakan batik dengan nama tritura. Bahkan pada tahun 2005, sesaat setelah presiden SBY diangkat muncul batik dengan motif ‘SBY’ yaitu motif batik yang mirip dengankain tenun ikat atau songket. Motif yang cukup populer akhir-akhir ini adalah motif Tsunami. Memang orang Pekalongan tidak pernah kehabisan ide untuk membuat kreasi motif batik.
 
Di pekalongan banyak terdapat pasar maupun grosir batik yang cukup terkenal dan sering di singgahi oleh wisatawan yang melintas di jalur pantura atau pantai utara jawa yakni pasar batik setono. Masyarakat Pekalongan khususnya warga kampung Setono kala itu pada tahun 1939 kebanyakan bermata pencaharian batik dan petani , karena jumlah perajin batik saat itu tergolong banyak yaitu sekitar ± 100 orang akhirnya para perajin batik Setono sepakat untuk mengadakan pertemuan dan diputuskan untuk membentuk satu wadah yaitu koperasi yang bertujuan menampung segala aktivitas dan produksi batik, maka pada tahun 1942 dibentuklah Koperasi Pengusaha Batik Setono yang disingkat KPBS yang awalnya berkantor di Sorogenen Pekalongan , karena waktu itu batik merupakan sandang yang banyak dipakai oleh masyarakat khususnya masyarakat di pulau Jawa dan Sumatera maka segala bahan baku batik khususnya kain mori merupakan hal yang sangat dibutuhkan dan dicari , bahan baku mori diperoleh di toko-toko yang menjual kain mori. Bahan mori saat itu diimpor dari negara Jepang , sehingga terkadang persediaan di toko toko sering kehabisan stok oleh karenanya anggota KPBS berinisiatif mendirikan pabrik untuk memproduksi kain mori sendiri , dan pada tahun 1962 pabrik mulai dibangun di tepi jalan raya Jakarta Surabaya tepatnya di wilayah Karangmalang kabupaten Batang. Hasil produksi dari pabrik KPBS sebagian untuk keperluan produksi anggota KPBS dan sebagian lagi hasil produksi dijual keluar. Awalnya produksi berkembang dengan sangat pesat sehingga kampung Setono pada waktu itu menjadi kiblat ekonomi wilayah Batang dan juga Pekalongan, hal ini dibuktikan dengan kehadiran Bapak Moh. Hatta di KPBS untuk meresmikan berbagai fasilitas yang dibangun KPBS diantaranya pembangkit listrik yang berlokasi di Setono gang 4 dan juga meresmikan 5 sekolah / madrasah mulai dari TK s/d SMP dan satu klinik kesehatan ibu dan anak, disamping itu KPBS waktu itu juga membangun 2 jembatan yang menghubungkan wilayah Batang dan Pekalongan juga pengaspalan jalan kampung Setono.
Namun setelah KPBS mengalami kemajuan yang pesat , seiring pergantian zaman berangsur angsur produksi kain mori mulai mengalami penurunan dikarenakan permintaan  batik  dan  mori  semakin  berkurang, hal  ini karena  akibat adanya produksi batik oleh orang – orang non pribumi yang lebih maju dan cepat yaitu dengan sistem sablon dan juga semakin banyak dibangun pabrik – pabrik yang memproduksi kain mori, hal ini membuat usaha para perajin batik di Setono semakin lesu bahkan banyak diantaranya yang gulung tikar karena batik sablon dijual dengan harga yang lebih murah. Tentunya hal tersebut juga sangat berpengaruh pada kelangsungan produksi pabrik KPBS sehingga pada tahun 1980 produksi pabrik KPBS kondisinya kembang kempis yang akhirnya pabrik KPBS dikontrakkan kepada pihak lain. Kemudian pada tahun 1999 sebuah mitra KPBS yaitu NAGARI yang terdiri dari Drs. Soni Hikmalul, M.Si (ketua), Priyanto (Sekretaris), H. Hasanudin (Bendahara) mempunyai inisiatif supaya pabrik KPBS dijadikan pasar batik, inisiatif inipun akhirnya disetujui KPBS dengan perhitungan saham 60 untuk KPBS, 40 untuk NAGARI dan kemudian bangunan pabrik dan kantor beserta gedung lainnya diubah menjadi bangunan kios-kios batik. Tepatnya tanggal 8 Juli 2000 yang diresmikan langsung oleh Bapak Walikota Pekalongan pada saat itu Bapak Drs. Samsudiat, MM dan dengan berbagai upaya promosi dan juga dukungan dari pihak Pemkot Pekalongan ( karena wilayah Setono termasuk dalam pemekaran wilayah Pemkot  Pekalongan ) akhirnya pasar ini berdiri dengan nama Pasar Grosir Setono Pekalongan dengan jumlah awal hanya 50 kios batik, pada tahun yang sama dibangun kembali ±126 kios & terus bertambah sampai sekarang mencapai ±300 kios dan dengan telah berdirinya Pasar Grosir Setono Pekalongan ini semua perajin yang bernaung di wilayah Kota Pekalongan dan sekitarnya dapat memasarkan hasil produksinya di Pasar Grosir Setono Pekalongan dan pada Desember 2010 kemitraan NAGARI selesai dengan kompensasi. Pada awal 2011 pengelolaan Pasar Grosir Setono Pekalongan dikelola Mandiri oleh Koperasi Pengusaha Batik Setono Pekalongan (KPBS). Dengan rahmat Allah SWT serta dengan usaha yang tak kenal lelah dari Pengelola manajemen akhirnya Pasar Grosir Setono Pekalongan dapat menarik perhatian dan akhirnya mendapat kunjungan dari berbagai daerah bahkan mancanegara dan juga dari berbagai kalangan dan kini pasar ini sudah dikenal luas di nusantara.
Lelah keliling Pekalongan, maka waktunya kuliner, ada banyak macam kuliner yang layak anda coba, Selain soto pekalongan, sego alias nasi megono juga jadi kebanggaan warga kota batik ini. Megono bisa jadi berasal dari kata ‘mergo’ atau sebab dan ‘ono’, artinya ada. Megono berbahan dasar nangka muda dan kelapa. Jika nangka muda sulit didapat, maka tanpa mengurangi nikmatnya rasa megono, rebung atau tunas bambu dijadikan penggantinya.
Pada masa lalu, megono umumnya hanya bisa dijumpai di warung-warung makan kelas menengah ke bawah sepanjang pantura dari Pekalongan hingga Batang.  Namun, kini telah diadopsi bersama soto Pekalongan, dapat ditemui di beberapa restoran di Semarang, Jakarta juga kota besar lain. Membuat megono tak terlampau rumit. Nangka muda yang telah dicacah hingga kecil-kecil direbus. Setelah matang dicampur dengan bumbu urap yang terdiri dari parutan kelapa dan bumbu dapur yang dihaluskan seperti bawang putih, bawang merah, cabe, jeruk purut, kencur dan garam.
Selain nasi megono, masih ada juga yang lain, seperti tauto, soto kebo, garang asem dll.
PEKALONGAN DARI MASA ke MASA………….
MASA PRASEJARAH
Data permukiman awal dari masa prasejarah dan awal masa sejarah kuno sebagaimana ditunjukan oleh adanya peninggalan megalitik dan lingga yoni dibeberapa tempat di daerah Kabupaten Pekalongan di bagian selatan menunjukan bahwa pemukiman penduduk telah berlangsung lama dan telah mengenal sistem kemasyarakatan dan keagamaan. Sistem kemasyarakatan yang bagaimana tidak dapat diketahui pasti karena terbatasnya sumber informasi.
Beberapa benda peninggalan sejarah yang berada di daerah Kabupaten Pekalongan berupa Yoni dan Lingga dan bukti peninggalan yang lain seperti:
1. Lingga/ Yoni yang berada di Desa Telagapakis Kecamatan Petungkriyono.
2. Yoni yang berada di Dukuh Gondang Desa Telogohendro wilayah Kecamatan Petungkriyono.
3. Lingga yang berada di Dukuh Mudal Desa Yosorejo wilayah Kecamatan Petungkriyono
4. Lingga/ Yoni yang berada di Dukuh Parakandawa Desa Sidomulyo Kecamatan Lebakbarang.
5. Yoni yang berada di Dukuh Pajomblangan Kecamatan Kedungwuni
6. Yoni yang berada di Dukuh Kaum Ds. Rogoselo Kecamatan Doro.
7. Yoni yang berada di Desa Batursari Kecamatan Talun.
8. Archa Ghanesha yang berada di Desa Kepatihan Kecamatan Wiradesa.
9. Archa Ganesha yang berada di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono
10. Batu lumpang yang berada di Desa Depok Kecamatan Lebakbarang.
11. Batu Lumpang yang berada di Dukuh Kambangan di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono dan sebagainya.
Data pemukiman pada periode awal Abad Masehi sampai Abad XIV dan  XV sangat langka dan terbatas, sehingga sulit dipastikan pertumbuhan dan perkembangan komunitas di wilayah Pekalongan pada masa pengaruh kebudayaan Jawa Hindu berkembang di Jawa. Hal ini terjadi karena sampai masa kini belum ditemukan prasasti peninggalan tertulis yang mampu mengungkapkan kehidupan pada masa  itu.  Banyak  ditemukan  toponim,  beserta  tradisi lisan, berupa legenda mitos, atau cerita rakyat yang berkaitan dengan toponim, akan tetapi sulit untuk memastikan kebenaran data legenda atau cerita rakyat tersebut.
Seperti yang dikemukakan oleh SCHRIEKE, Negara Kertagama, karya tulis penting pada masa Majapahit, sama sekali tidak menyebut nama-nama daerah di Pantai Utara Jawa sebelah barat Lasem yang mencakup daerah Tegal, Pekalongan dan Semarang, yang pada masa itu diduga masih jarang dihuni penduduk.  Sementara daerah lain seperti Demak, Jepara , Kudus dan Pati telah berkembang menjadi daerah penting.
MASA KERAJAAN DEMAK
Data sejarah pada periode abad ke 15 dan abad ke 16, diperoleh melalui sumber-sumber tertulis disamping sumber-sumber peninggalan bangunan makam kuno, kuburan dan bangunan lain dari masa perkembangan Islam di Jawa.
Pada masa abad ke 16 diduga wilayah Pekalongan telah menjadi daerah yang dilewati oleh    hubungan    komunikasi  dari  dua kerajaan Islam Demak dan Cirebon, dan pada masa kemudian menjadi wilayah pengaruh kerajaan Mataram Islam pada abad ke 17. Selanjutnya pada abad ke 18 wilayah Pekalongan menjadi  pengaruh VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), Persekutuan dagang di India Timur – Belanda, terutama sejak tahun 1743, yaitu setelah VOC menerima imbalan jasa bantuan yang diberikan VOC kepada Mataram.
Sejak 1800-an sampai 1942 Wilayah Pekalongan secara langsung menjadi wilayah administratif wilayah Pemerintahan Hindia Belanda, atau disebut wilayah Gubernemen. Sementara itu setelah lahirnya wilayah Republik Indonesia pada 1945 Wilayah Pekalongan tidak beda dengan wilayah lainnya menjadi Wilayah administrasi  Pemerintahan Republik Indonesia.
MASA MATARAM ISLAM
Pada masa Pemerintahan Mataram Islam dibawah kekuasaan Sultan  Agung      abad ke-17, keberadaan Kabupaten Pekalongan secara administratif merupakan Bagian dari wilayah kesatuan kerajaan Mataram Islam.
Kerajaan Mataram dibawah tampuk pemerintahan Sultan Agung mencapai kejayaannya. Wilayahnya meliputi wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat. Adapun Jakarta belum berhasil ditaklukkan karena dikuasai oleh Belanda dibawah Gubernur Jenderal Jan Pieter Zoon Coen mulai tahun 1619. Keberhasilan tersebut ditunjang Doktrin Keagungbinataraan, yaitu kekuasaan Raja Mataram harus merupakan ketunggalan, utuh dan bulat. Artinya kekuasaan tersebut tidak tersaingi, tidak terkotak-kotak atau terbagi bagi dan merupakan  keseluruhan (tidak hanya bidang-bidang tertentu).
Pada bulan Maulud Nabi Muhammad Saw. selalu diadakan Gerebeg Maulud, yaitu peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw. yang biasa jatuh pada     tanggal 12 Rabiul Awal, sekaligus diadakan acara “Paseban” (berkumpulnya para Bupati dan Tumenggung serta para pejabat lainnya untuk melaporkan situasi/keadaan di daerah masing-masing dan penyerahan upeti).
Pada acara tersebut juga dimanfaatkan oleh Sultan Agung untuk pengangkatan bupati-bupati baru dan pejabat baru lainnya. Menurut pandangan tim, keberadaan Sultan Agung dalam memimpin  kerajaan Mataram terlebih pada saat perlawanan terhadap penjajah Belanda sudah tidak diragukan lagi keberadaannya sebagai Raja yang Gung Binatoro sehingga tepat apabila sekarang diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Perlawanan Mataram terhadap penjajah Belanda mencapai puncak disaat penyerangan ke Batavia pada tahun 1628, dimana Pangeran Manduraredja dan Bahureksa ditunjuk sebagai Panglima perangnya.
Secara geografis Kabupaten Pekalongan terletak pada jalur pantura dan perdagangan laut yang cukup setrategis, sehingga pada saat penyerangan ke Batavia Kabupaten Pekalongan sebagai kantong/ lumbung perbekalan. Setrategi ini juga digunakan Sultan Agung untuk mengumpulkan kekuatan-kekuatan didaerah.
Dari bukti inilah menunjukan bahwa Kabupaten Pekalongan termasuk daerah yang dipersiapkan dalam rangka penyerangan ke Batavia. Sehingga menurut pandangan tim, dijadikan alternatif  dan bukti bahwa secara administratif Kabupaten Pekalongan merupakan bagian dari kesatuan Kerajaan Mataram.
Terlebih lagi dengan diangkatnya Pangeran Manduraredja sebagai Bupati Pekalongan yang mempunyai kekuasaan tertinggi di Kabupaten Pekalongan dan bertanggung jawab sebagai penyelenggara pemerintahan, serta secara hirarki wajib melaporkan segala sesuatunya kepada raja termasuk penyerahan upetinya.
MASA BELANDA
Masa-masa awal perkembangan Pekalongan tidak banyak disebut dan sumber-sumber asing baik Portugis maupun Belanda , seperti dalam Reis Journalen, Suma Oriental (Tome Pires, 1994), Scheep togt van Tristanto d’acunha (Pieter Van Der Aa, 1706) The Voyager of Jonh Huygen van Linschouten to the east Indies ( A.C Burnell dan P.A Tiele, 1884), dan catatan perjalanan lainnya.
Sumber -sumber tersebut menyebutkan nama kota-kota di pantai  Utara Jawa pada Abad XVI seperti Cirebon, Tegal, Kendal, Demak, Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik dan Surabaya, akan tetapi tidak menyebutkan Pekalongan.
Sementara itu nama Pekalongan dan data historisnya dapat ditelusuri  dalam Babad Tanah Jawa, Babad Mataram, Serat Khandaning Ringgit Purwo, Serat Pustaka Raja  Purwo, Babad Sultan Agung , Dagh Register (1623 – 1799) , Opkomst Van Het Nederlandsch gezag in Oost Indie ( J.K.J de Jonge  & M.L  Van Deventer , eds; 1862 – 1909, 13 jilid ), laporan VOC lainnya, laporan Pemerintah Hindia Belanda, Buku-buku dan Publikasi lainnya seperti regering Almanak van Nederlandsch Indie (1820-1850) dan Oud end Nieuw Oost Indie (F. Valentijn) dan Sumber lainnya.
Pada masa ini administrasi pemerintahan secara keseluruhan berdasarkan keseluruhan berdasarkan keputusan dari pemerintah Hindia Belanda, misalnya bentuk pemerintahan Kabupaten yang disebut Regent, adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Bupati.
MASA REPUBLIK INDONESIA
Sebagai alternatif lain Hari jadi Kabupaten Pekalongan ialah pada masa Republik Indonesia/kemerdekaan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948. Kabupaten Pekalongan adalah merupakan Daerah Otonom atau dengan istilah Swatantra.
Hal ini ditandai pula dengan diundangkannya Undang – Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah pada : Hari Selasa Pon tanggal : 8 Agustus 1950 yang ditetapkan di Yogjakarta, oleh Pemangku Jabatan Sementara Presiden  Republik Indonesia  Menteri Dalam Negeri  SOESANTO TIRTOPRODJO dan  Menteri Kehakiman A.G.PRINGGO DIGDO.
Berdasarkan Undang – Undang tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan dibentuk bersama 28 daerah lain antara lain : Semarang, Kendal, Demak, Grobogan, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Pati, Kudus, Djepara, Rembang, Blora, Banjumas, Tjilatjap, Purbalingga, Banjarnegara, Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Kebumen, Boyolali, Sragen, Sukoharjo, Karanganyar dan Wonogiri.
SEJARAH TERBENTUKNYA PEMERINTAH KOTA PEKALONGAN
Pada Pertengahan abad XIX dikalangan kaum liberal Belanda muncul pemikiran etis – selanjutnya dikenal sebagai politik Etis – yang menyerukan Program Desentralisasi Kekuasaan Administratif yang memberikan hak otonomi kepada setiap Karesidenan (Gewest) dan Kota Besar (Gumentee) serta pembentukan dewan-dewan daerah diwilayah administratif tersebut. Pemikiran kaum liberal ini ditanggapi oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dengan dikeluarkannya Staatblaad Nomer 329 Tahun 1903 yang menjadi dasar hukum pemberian hak otonomi kepada residensi (gewest); dan untuk Kota Pekalongan , hal otonomi ini diatur dalam Staatblaad Nomer 124 tahun 1906 tanggal 1 April 1906 tentang Decentralisatie Afzondering van Gemiddelan voor de Hoofplaats Pekalongan ult de Algemenee Geldmiddelan van Nederlandsch Indie Instelling van een Gumeenteraad de dier Plaatse yang berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menandatangani penyerahan kekuasaan kepada tentara Jepang, Jepang menghapus keberadaan dewan – dewan daerah, sedangkan Kabupaten dan Kotamadya diteruskan dan hanya menjalankan pemerintahan dekonsentrasi.
Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh dwitunggal Soekarno-Hatta di Jakarta, ditindaklanjuti rakyat Pekalongan dengan mengangkat senjata untuk merebut markas Tentara Jepang pada tanggal 3 Oktober 1945. Perjuangan  ini berhasil, sehingga pada tanggal 7 Oktober 1945 Pekalongan bebas dari Tentara Jepang.
Secara Yuridis formal, Kota Pekalongan dibentuk berdasarkan Undang – Undang Nomer 16 Tahun 1950  tentang pembentukan daerah Kota besar dalam lingkungan Jawa Barat/Jawa Tengah/ Jawa Timur dan Daerah Istimewa Jogjakarta. Selanjutnya dengan terbitnya Undang-Undang Nomer 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, maka Pekalongan berubah sebutanya menjadi Kotamadya Dati II pekalongan.
Terbitnya PP Nomer 21 Tahun 1988 tanggal 5 Desember 1989 dan ditindaklanjuti dengan Inmendagri Nomer 3 Tahun 1989 merubah batas wilayah Kotamadya Dati II Pekalongan sehingga luas wilayahnya berubah dari 1.755 Ha menjadi 4.465,24 Ha dan terdiri dari 4 kecamatan, 22 desa dan 24 kelurahan.
Sejalan dengan era reformasi yang menuntut adanya reformasi di segala bidang, diterbitkan PP Nomer 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomer 32 Tahun 2004 yang mengubah sebutan Kotamadya Dati II Pekalongan menjadi Kota Pekalongan.
Sumber-Sumber Pendukung:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar