SELAMAT DATANG DI BATIK_KU "PEKALONGAN"

Selasa, 12 Juli 2011

Ihsan – Mendekatkan Diri Kepada Allah

Apa sih sebenarnya makna ihsan itu? Kita sering sekali mendengar kata ini, atau membicarakannya pada orang lain. Tapi sebenarnya apa ya maknanya?
Kenapa sangat penting membahas arti kata ihsan? Karena sebagaimana diajarkan Jibril as. dan Rasulullah Saw (dalam hadits Bukhari 1 : 47), Ihsan adalah salah satu dari tiga komponen yang membentuk ad-diin kita, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Jika satu komponen saja tidak ada, atau tidak paham, maka kita belum ber-diin dengan sempurna.
Jika kita sudah paham makna ihsan, kita juga akan bisa meraba maksud makna kata-kata turunannya seperti ‘hasan’, ‘ahsan’, ‘muhsin’, ‘hasanah’, dan lain sebagainya.
Umumnya kita secara awam mengartikan kata ihsan’, ‘hasan’, ‘ahsan’ dan semua kata yang berkaitan, dihubungkan dengan kata ‘baik’ sebagaimana tertulis di kamus bahasa Arab. Jika ihsan di sana diartikan ‘baik’, maka ‘muhsin’ adalah ‘orang yang baik’, atau ‘orang yang suka berbuat baik’, dan seterusnya. Oke, itu tidak salah sih. Tapi apa bedanya ihsan atau ‘hasan’, dengan ‘khair’ (baik)? Masalahnya, istilah Arab dalam Qur’an itu sama sekali bukan bahasa Arab sehari-hari, sehingga beresiko tidak akurat, kabur atau terlalu umum jika diterjemahkan melalui kamus bahasa Arab sehari-hari.

Contoh, Q. S. Al-Baqarah [2] : 195:
“Innallaha yuhibbul-muhsiniin.”
Sesungguhnya Allah mencintai Al-Muhsiniin.
Jika ‘Al-muhsiniin’ diterjemahkan menjadi ‘orang-orang yang berbuat baik’ sesuai kamus bahasa Arab sehari-hari, maka artinya menjadi ’sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.’ Bener? Bener sih, nggak salah juga. Tapi kurang presisi, kurang akurat jadinya. Terlalu umum. ‘Berbuat baik’ itu sebaik apa? Koruptor, jika habis korupsi berbuat baik, apa iya jadi dicintai Allah? Pelacur, pezina, perampok, juga banyak yang baik, atau berbuat baik. Apa iya mereka dicintai Allah? Segampang itu?
Atau kita deh, yang merasa diri kita sebagai orang baik. Apa kita dicintai Allah, seperti cinta Allah pada para kekasih-Nya? Kok kita yang merasa sebagai ‘orang baik’ ini mau khusyu’ saja susah, kalau berdoa jarang makbul, hehe… Kok ya masih berani merasa diri menjadi bagian dari para muhsiniin sih… hehehe. Atau kadang-kadang kalau kebetulan pas baca ayat tentang ‘orang-orang yang berbuat baik’ pasti ngerasanya Qur’an lagi bicara tentang kita, hehehehe….
Contoh lain, sebuah hadits:
‘Dari Abu Darda`, Nabi Saw bersabda “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam mizan (timbangan kebajikan pada hari kiamat) selain dari husnul khuluq (diterjemahkan: akhlak yang baik).” (H.R. Abu Daud 4799 dan Tirmizi 2002 - Hadits hasan shahih).
‘Husnul Khuluq’, jika diterjemahkan menjadi ‘akhlak yang baik’, ya benar sih (‘husn’ = baik). Tapi sebaik apa? Koruptor atau perampok di contoh tadi, masak iya jika gemar korupsi atau gemar merampok tapi berakhlak baik, maka timbangan kebaikannya di hari kiamat nanti menjadi paling berat? Coba tanya ke nurani kita sendiri.
Jadi ihsan, hasan, muhsin, dan sebagainya itu walaupun memang hubungannya dengan ‘baik’, tapi jika konteksnya adalah kualitas sebuah sikap, maka ihsan itu baik yang sekualitas apa? ‘Baik’ yang seberapa baik?
Kalau kita kembali ke hadits Bukhari 1 : 47 yang paling atas tadi, di sana Jibril as. dan Rasulullah Saw. mengajarkan makna ihsan pada para sahabatnya. Hadits ini adalah hadits yang terkenal sekali, dan saya yakin sahabat sekalian sudah pernah membacanya. Jadi disini haditsnya saya ringkas saja, karena aslinya hadits tersebut sangat panjang.
Jadi ketika itu, Rasulullah saw sedang bersama para sahabatnya. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang sangat tampan yang tidak mereka kenal wajahnya. Ia berpakaian sangat bersih, seperti bukan orang yang baru tiba dari perjalanan, walaupun dari wajahnya para sahabat tahu bahwa ia bukanlah penduduk sekitar. Lalu lelaki itu bertanya pada Rasulullah Saw., “Apakah iman itu?” Rasulullah menjawab dengan menyebutkan rukun iman.
Lelaki itu bertanya lagi, “Apakah Islam itu?” Dan Rasulullah pun menjawab dengan menyebutkan rukun Islam. Pada pertanyaan yang ketiga, lelaki itu bertanya, “Apakah ihsan itu?”
Jawab Rasulullah,
“Anta’budallah ka annaka taraah, fa’illam takun taraah, fa’innahu yaraak.”
“Engkau mengabdi kepada Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Setelah ini ada beberapa dialog lagi, kemudian lelaki itu pergi. Ketika para sahabat mencarinya dan tidak berhasil menemukannya, dengan keheranan mereka menyampaikannya pada Rasulullah karena lelaki itu menghilang demikian cepat. Jawab Rasulullah, “Dia Jibril, yang datang untuk mengajarkan manusia (para sahabatnya) tentang diin mereka.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari.
Nah, itulah ihsan. Ihsan kualitas yang pertama, adalah sebuah kualitas pengabdian seperti ketika kita telah melihat-Nya. Sedangkan ihsan kualitas yang kedua, adalah sekualitas ketika kita telah merasakan sepenuhnya bahwa Dia melihat kita, meskipun kita tidak (belum) melihat-Nya.
Jika kita telah melihat-Nya, mana bisa kita tidak mencintai-Nya? Mana bisa kita tidak takjub kepada-Nya? Mana bisa kita tidak rindu kepada-Nya, tidak ingin tunduk kepada-Nya? Dia yang tak terbatas, Mahaindah, Mahatinggi, Mahapengasih, Mahapenyayang. Mana bisa kita tidak takjub kepada-Nya dan tidak mencintai-Nya, jika sudah mengenal-Nya? Bayangkan, bagaimana kira-kira kualitas pengabdian dari seseorang yang sudah merasa takjub kepada-Nya. Itu Ihsan dalam kualitasnya yang pertama.
Kalau pun kita belum melihat-Nya, ihsan kualitas kedua adalah ketika dalam setiap nafas kita, setiap saat, sepanjang jasad ini masih bernafas dan jantung masih berdetak, tidak sesaat pun diri kita pernah lepas dari kesadaran bahwa Dia melihat kita. Kesadaran yang tidak pernah putus, biar kita sedang dalam saat orgasme sekalipun. Kita ‘tenggelam’ dalam sebuah pemahaman bahwa kita ada dalam pengawasan-Nya, penjagaan-Nya, perlindungan-Nya, tuntunan-Nya. Padahal Dia adalah dzat yang tidak mengantuk, tidak tidur, dan tidak lalai.
Nah, seseorang dengan kualitas ihsan yang seperti ini, masih mungkinkah dia bermaksiat? Masih mungkinkah dia berkeluh kesah, tidak bersyukur? Mana bisa dia bertindak tidak santun dan sembarangan? Apa bisa orang yang sudah ada dalam penjagaan-Nya dan perlindungan-Nya sepenuhnya seperti ini, menjadi murung dan tidak bahagia? Kira-kira, bagaimana akhlaq dari orang yang ada di ihsan kualitas kedua ini?
Jadi kenapa Allah mencintai para Al-Muhsiniin, seperti disebut di Al-Baqarah [2] : 195 tadi? Jelas, karena mereka memiliki kualitas pengabdian yang seperti itu, lebih dari sekedar ‘orang baik’ atau ’suka berbuat baik’. Dan, Ihsan atau hasan lebih dari sekedar khair (baik).
Sekarang pun lebih jelas makna hadits dari Abu Daud dan Tirmidzi tadi, bahwa ‘tidak ada yang lebih berat dalam mizan, selain husnul-khuluq (akhlaq yang ihsan)’. Tentu saja, karena husnul-khuluq adalah akhlaq yang terbangun dalam diri seseorang karena seseorang melihat-Nya, atau setidaknya akhlaq yang terbangun adalah karena dia telah sepenuhnya ‘tenggelam’ dalam kesadaran bahwa Allah melihatnya. Husnul-khuluq bukan sekedar ‘akhlaq yang baik’.
Nah, dari arti ihsan yang diajarkan Jibril as. dan Rasulullah Saw, kita sudah bisa memahami makna kata ‘muhsin’ dan ‘husn’ dengan sedikit lebih presisi lagi, bukan sekedar bermakna makna ‘baik’ dalam pengertian umum. Sekarang, kita bisa juga meraba makna kata-kata turunannya dalam Al-Qur’an, misalnya ‘ahsan’, ‘hasan’, ‘hasanah’, dan seterusnya.

Dalam hubungan dengan Allah, Ihsan adalah kita beribadah seolah-olah kita melihat Allah atau kita meyakini bahwa Allah melihat kita. Sehingga kita beribadah dengan penuh kekhusyukan melebihi ketika kita menghadap seorang pejabat seperti presiden.
Kepada Allah kita harus berusaha mendekatkan diri dengan berbagai macam ibadah dengan sebaik-baiknya. Ketika shalat, kita harus yakin bahwa kita tengah berhadapan dengan Allah Sang Maha Pencipta. Ketika puasa kita harus ikhlas lillahi ta’ala. Ketika membayar zakat, kita meniatkannya sebagai kewajiban kita kepada Allah. Dan ketika Haji, kita meyakini bahwa kita adalah tamu Allah yang sedang berkunjung ke rumah”Nya.
Jika kita kaji Al Qur’an, maka kita akan mengetahui bahwa Ihsan itu tidak hanya menyangkut hubungan dengan Allah, tapi juga dengan manusia dan juga makhluk lainnya.
Dalam surat Al Baqarah ayat 83 kita diperintahkan berbuat kebaikan (Ihsan) kepada ibu bapa, keluarga, anak-anak yatim dan orang miskin:
“Ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil: Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” [Al Baqarah:83]
Dalam surat An Nahl ayat 90 Allah juga memerintahkan kita untuk berbuat kebaikan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. “ [An Nahl:90]
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik / ihsan:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” [Al Baqarah:195]
Allah mewajibkan kita berbuat baik terhadap segala sesuatu. Bahkan ketika perang pun kita tidak boleh menyiksa musuh kita dengan niat menyakitinya. Menyembelih binatang pun harus dengan cara yang selembut-lembutnya:
Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus ra, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan kalian berbuat baik terhadap segala sesuatu, maka bila kalian hendak membunuh orang (dalam peperangan ataupun yang lainnya), bunuhlah dengan cara yang baik. Dan bila kamu menyembelih binatang, maka sembelihlah dengan cara yang baik, hendaklah kalian menajamkan pisau dan memperlakukan hewan sembelihan dengan lembut.” (HR Muslim)
Kita diperintahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan kita tidak akan bisa dekat kepada Allah kecuali kita juga harus dekat kepada kaum yang lemah dan berbuat ihsan kepada mereka:
Dekatkan dirimu kepada-Ku (Allah) dengan mendekatkan dirimu kepada kaum lemah dan berbuatlah ihsan kepada mereka. Sesungguhnya kamu memperoleh rezeki dan pertolongan karena dukungan dan bantuan kaum lemah di kalangan kamu. (HR. Muslim)
Seorang yang cuma rajin beribadah kepada Allah seperti shalat, puasa, dan haji, tapi tidak berbuat kebaikan terhadap sesama, maka dia bukanlah orang yang berbuat ihsan. Dia bukan orang yang disukai Allah. Dia juga bukan orang yang dekat dengan Allah.
Bagi orang yang berbuat ihsan (baik), Allah memberi balasan surga dan mereka kekal di dalamnya:
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” [Yunus:26]
Semoga kita semua bisa menjadi muhsiniin. Orang-orang yang berbuat ihsan dan disukai Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar