SELAMAT DATANG DI BATIK_KU "PEKALONGAN"

Rabu, 19 Oktober 2011

Dian Kyriss, Kolektor 2.000 Kain Batik

 
SURABAYA, KOMPAS.com - Penasaran dengan harga kain batik yang mahal, membuat Dian Kyriss, belajar arti dan makna dari kain batik itu. Selanjutnya, ketika tahu batik ternyata memiliki makna dan filosofi tinggi, Dian menjatuhkan pilihan untuk mengoleksinya dengan kekhususan kain batik tua.
Ketika ditemui di rumahnya yang asri di kawasan Graha Family Surabaya, Dian Kyriss sedang asyik menata tumpukan kain-kain batik di sebuah ruangan khusus. “Sebenarnya tiap hari sudah tertata rapi. Tapi sesekali waktu saya bongkar untuk saya angin-anginkan agar tidak lembab,” jelas istri dari ekspatriat John Kyriss asal Jerman itu.
Di ruangan khusus itu, Dian menempatkan sekitar 2.000 potong kain batik dari berbagai daerah. Ada yang ditumpuk rapi di lima lemari kayu dan kaca berukuran besar dengan model kuno, ada pula yang digulung dalam gulungan khusus untuk batik. Beberapa bahkan ada yang dipajang layaknya jemuran kain.
Padahal di ruangan itu, tertutup dan berpendingin ruangan. Bersama dengan koleksi guci-guci kuno dan berbagai jenis souvenir khas dari berbagai daerah yang juga tampak kuno, membuat batik-batik itu seperti berada di museum atau galeri khusus barang kuno.
Memang, batik-batik yang dikoleksi ibu dua anak itu adalah batik-batik kuno. “Saya sengaja memilih batik yang kuno-kuno karena memiliki nilai sejarah lebih. Dibandingkan dengan batik yang sekarang,” jelas Dian.
Jenisnya bermacam-macam. Mulai dari batik Sidoarjo, Jogja, Solo, Pekalongan, Tasikmalaya, Lasem, Kalimantan, hingga Sumatera, Dian memilikinya. Sedangkan untuk yang tua-nya, Dian mengaku memilih batik yang dimiliki warga-warga di sekitaran kampung batik di daerah-daerah itu. Yang paling tua, Dian menunjukkan kain batik berwarna hijau yang dijereng di sudut ruangan berukuran 2 meter x 1 meter.
“Ini paling tua. Usianya sekitar 150 tahun, saya dapatkan di kampung Jetis Sidoarjo. Milik keluarga pembuat batik jaman dulu, yang menemukan batik itu di tumpukan barang mbah buyutnya,” jelas Dian.
Tanpa bersedia menyebut nama, Dian mengisahkan, pemilik batik itu adalah pembuat pabrik jaman dulu di Jetis. Kemudian tutup dan hingga tahun 2007 lalu, saat cucu dan cucu buyutnya akan kembali membuka usaha batik, kain itu ditemukan. “Saat saya bertemu mereka, dan mereka menceritakan riwayat kain batik itu, saya beranikan untuk beli. Harganya lumayan tinggi, tapi saya puas,” ungkap Dian tanpa menyebut angka.
Sejak saat itulah, Dian mulai jatuh cinta untuk mengoleksi batik tua. Selain dari Jetis, Sidoarjo, Dian juga berhasil mendapatkan kain batik Jogja dari seorang nenek di Ponorogo, tempat asalnya. Batik Jogja itu diberikan seorang nenek, tetangganya begitu saja, dengan syarat, batik itu harus dijaga dan tidak digunakan untuk hal-hal yang mengandung mistis.
Kain batik motif parang dengan warna cokelat susu itu, disebut si nenek adalah warisan dari orangtuanya yang diberikan saat dia menikah. “Jadi berapa usia pastinya belum tahu. Nenek ini meninggal tahun 2009 lalu, di usia 89 tahun. Tentunya kalau dia menikah usia 20 tahun, kain ini sudah berusia lebih dari 50 tahun,” ungkap Dian.
Selain dua batik itu, kain batik koleksi Dian rata-rata batik buatan tahun 1950-an hingga tahun 1970-an. Untuk mendapatkannya, Dian rela berkeliling masuk ke kampung-kampung. Biasanya dia datang ke kampung pembuat batik. Kemudian mencari home industry yang sudah lama. Atau bertanya siapa orang-orang tua di daerah kampung itu yang suka menyimpan batik.
“Kadang ada pula kain batik kuno yang saya dapatkan bekas. Saya tetap mau ambil, ada kain batik bekas dipakai sholat oleh pemiliknya yang sudah meninggal. Bekas itu terlihat dari adanya bagian kain yang sobek atau sudah lusuh,” cerita Dian.
Sedangkan untuk batik Sumatera, Dian mengaku mendapatkannya di Palembang. Batik itu tampil denga motif gajah, yang biasa ada di Lampung. Tapi ternyata pembuatnya adalah orang Jawa yang bertransmigrasi di daerah perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan di tahun 1970an. Di daerah transmigrasi itu, mereka juga membatik dengan menggunakan motif khas daerah mereka tinggal, yaitu gajah.
“Jadi siapa bilang, batik hanya ada di Jawa, daerah lain juga ada. Saya juga menemukan batik di Bali dan Kalimantan Selatan, meski belum menemukan yang usianya lebih dari 20 tahun,” lanjut Dian.
Dengan koleksinya itu, Dian berencana untuk akan terus merawatnya hingga batas waktu yang tidak terbatas. Meski banyak yang menawar untuk membei, Dian mengaku tidak akan melepasnya. “Ada yang menawar puluhan juta per potong. Saya tolak. Karena apa yang saya simpan ini, saya sebut sebagai kegiatan penyelamatan untuk batik tua,” tandas Dian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar